Kamis, 11 November 2010

kriminalitas anak remaja

Meninjau Ulang Kriminalitas Remaja
Salah satu problem pokok yang dihadapi oleh kota besar, dan kota-kota lainnya tanpa menutup kemungkinan terjadi di pedesaan, adalah kriminalitas di kalangan remaja. Dalam berbagai acara liputan kriminal di televisi misalnya, hampir setiap hari selalu ada berita mengenai tindak kriminalitas di kalangan remaja. Hal ini cukup meresahkan, dan fenomena ini terus berkembang di masyarakat.
Dalam satu liputan di harian Republika (2007) misalnya, dikatakan bahwa di wilayah Jakarta tidak ada hari tanpa tindak kekerasan dan kriminal yang dilakukan oleh remaja. Tentu saja tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat bervariasi, mulai dari tawuran antarsekolah, perkelahian dalam sekolah, pencurian, hingga pemerkosaan. Tindak kriminalitas yang terjadi di kalangan remaja dianggap kian meresahkan publik. Harian Kompas (2007) bahkan secara tegas menyatakan bahwa tindak kriminalitas di kalangan remaja sudah tidak lagi terkendali, dan dalam beberapa aspek sudah terorganisir. Hal ini bahkan diperparah dengan tidak mampunya institusi sekolah dan kepolisian untuk mengurangi angka kriminalitas di kalangan remaja tersebut.
Dalam liputan khusus yang pernah dikeluarkan oleh Kompas (2002), dikatakan bahwa angka kriminalitas di Jakarta pada 2002 meningkat sebesar 9,86% jika dibandingkan dengan tahun 2001. Dalam persentase kenaikan tersebut memang tidak secara khusus dinyatakan berapa besaran angka kriminalitas di kalangan remaja. Harian Republika (2005) lebih berani mengatakan bahwa hampir 40% tindak kriminalitas di Jakarta dilakukan oleh remaja. Dalam liputannya, Kompas (2002) menyebutkan bahwa sampai dengan 301
Kenakalan Remaja

Pelbagai permasalahan yang muncul dari kenakalan remaja sangat kompleks sifatnya, permasalahan tersebut tidaklah berdiri sendiri, melainkan banyak faktor-faktor yang berdiri dan saling mengikat. Oleh sebab itu, penyebab dan latar belakang kemunculan kenakalan remaja itu melibatkan banyak elemen dan komponen didalamnya. Timbulnya kenakalan remaja tidak dapat disalahkan hanya personal remaja saja, melainkan keluarga, masyarakat dan bahkan negara juga mempunyai andil dalam membentuk terjadinya kenakalan remaja.

Kenakalan remaja sering disebut dengan istilah juvenile delinquent, dimana awalnya dipersepsikan sebagai bentuk penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh remaja yang melanggar aturan-aturan sosial. Selanjutnya remaja tersebut mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang itu.

Perilaku menyimpang merupakan masalah sosial karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Besarnya harapan-harapan masyarakat (social expectation) yang tidak sesuai dengan kenyataan dapat menimbulkan keresahan, dan dapat dianggap sebagai sumber masalah karena membahayakan tegaknya sistem sosial.

Kenakalan remaja sering disebut juga sebagai anak cacat sosial (Kartono, 1988), disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan disebut “kenakalan”. Perilaku mereka cenderung anti sosial, anti susila dan menyalahi norma-norma agama. Beberapa dari kenakalan itu sendiri mengarah pada tindakan kejahatan remaja (juvenile crime).

Disebut sebagai kenalan remaja, bila bentuk perilaku kenakalan itu dilakukan oleh remaja, sementara bila perilaku-perilaku tersebut dilakukan oleh orang dewasa maka disebut dengan kejahatan.


Bentuk Kenakalan Remaja

Saat ini kenakalan remaja sudah cukup meresahkan, permasalahan yang timbul sudah sangat serius, beberapa kenakalan yang dilakukan remaja lebih menjurus pada tindakan kriminal.

Kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu :
(1) kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum
(2) kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa. (Gumarso,1988)

Pelbagai bentuk kenakalan remaja;

1. Kenakalan pelanggaran norma,
Berbohong, pergi keluar rumah tanpa pamit, keluyuran, begadang, buang sampah sembarangan, graffiti (mencoret-coret dinding), merokok

2. Kenakalan pelanggaran moralitas
Aborsi, pacaran, menonton, melihat atau membaca hal-hal yang mengandung pornografi, minum-minuman keras, hubungan seks pranikah, seks bebas, pelacuran remaja, berjudi

3. Pelanggaran aturan, dan tata tertib
Mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM, kebut-kebutan/mengebut, membolos sekolah, berkelahi dan tawuran,

4. Kenakalan khusus yang mengarah pada kejahatan kriminal;
Pembunuhan, penganiayaan, penipuan dan penggelapan, pencurian, pemerasan, menodong, pemerkosaan, dan kejahatan Narkotika, termasuk didalamnya memakai dan mengedarkan narkotika


Faktor Resiko

Kenakalan remaja akan membawa resiko bagi remaja itu sendiri, kerugian-kerugian yang akan berdampak buruk bagi perkembangan individu baik secara mental psikologis dikemudian hari.

- Gangguan kepribadian antisosial
- Penjara karena tindakan kriminalitas
- Kematian yang diakibatkan narkotika, perkelahian,
- Cacat fisik atau bahkan kematian yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas
- Penyakit akibat hubungan seksual, kehamilan yang tidak diharapkan, atau kematian yang disebabkan proses aborsi yang tidak aman
- Putus sekolah
- Kehilangan masa depan
- Penolakan komunitas, atau dikucilkan masyarakat
- Dan sebagainya


Faktor Penyebab

A. Faktor Eksternal

1. Faktor Keluarga
Akhlak anak dibentuk bermula di rumah. Anak sejak kecil dan sebagian besar waktunya dihabiskan dalam lingkungan keluarga. Anak belajar dari sikap dan perilaku kedua orangtuanya. Sebagian besar kenakalan remaja Ini dipengaruhi oleh pendidikan di rumah. Beberapa hal dalam rumahtangga yang berpengaruh;
- Rendahnya pendidikan agama dalam rumahtangga, fungsi kedua orangtua gagal dalam menunjukkan tabiat dan akhlak yang sesuai dengan nilai agama. Misalnya saja; anak diharuskan shalat oleh orangtua akan tetapi sang anak tidak pernah melihat kedua orangtuanya sholat
- Status ekonomi yang rendah mengakibatkan kedua orangtuanya mesti bekerja keras sehingga anaknya tidak mendapatkan kebutuhan kasih-sayang yang cukup
- Perilaku kedua orangtua sendiri yang tidak bermoral
- Kedua orangtuanya lebih mementingkan kerja atau pekerjaan dibandingkan mengontrol dan mengawasi anak-anaknya
- Keluarga broken home.

2. Faktor Sekolah
Hampir separuh waktu anak remaja dihabiskan di sekolah dalam seharinya, pendidikan sekolah yang tidak tepat akan berdampak pada timbulnya kenakalan pada remaja;
- Penerapan disiplin yang tidak sesuai atau terlalu longgar
- Orangtua yang tidak peduli dengan tingkat kemajuan yang diperoleh anak di sekolah
- Guru yang tidak mau tahu masalah yang dihadapi oleh siswanya
- Orientasi sekolah yang tidak tepat terhadap perkembangan anak didik, termasuk didalamnya tidak adanya guru konselor, tenaga profesional atau psikolog di sekolah tersebut
- Sistem pendidikan yang rumit mengekang kebebasan siswa dalam berekspresi sewajarnya, termasuk di dalamnya jam belajar terlalu panjang, tugas menumpuk, pelajaran yang sulit yang kesemuanya membutuhkan konsentrasi penuh sehingga membuat siswa semakin tegang, akibatnya siswa menyalurkan melalui agresivitas

3. Lingkungan sekitarnya
Remaja banyak belajar dari lingkungan sekitarnya, sebagai lingkungan bermain remaja cepat beradaptasi dan belajar dari orang-orang sekitarnya.
- Lingkungan sekitar yang permisif terhadap perjudian
- Lingkungan yang permisif terhadap prostitusi, kumpul kebo, atau seks bebas
- Lingkungan yang penuh dengan hura-hura, hiburan
- Event lainnya yang sarat dengan pendangkalan moral, misalnya hari kasih sayang, pemilihan ratu sejagat, dan sebagainya
- Pengaruh dari teman

4. Instansi dan negara
Banyak instansi terkait pada dasarnya memberikan kontribusi negatif terhadap perkembangan remaja, namun demikian dengan mempertimbangan hal keuntungan atau kerugian mengesampingkan pesan-pesan moral yang salah pada remaja
- Televisi, sejak kemunculannya televisi pertama sekali para ahli sudah menduga pengaruh buruk dari media tersebut
- Kontrol pemerintah yang rendah terhadap penyebaran pornografi melalui media cetak, televisi ataupun internet
- Pejabat yang korup telah memakan dana yang seharusnya dapat digunakan untuk pengembangan ketrampilan generasi muda melalui bakat, ketrampilan ataupun hobbinya
- Kurangnya kampanye pemerintah yang sinergi terhadap kebutuhan remaja yang sehat
- Penyediaan prasarana bagi remaja yang kurang, misalnya penyediaan sarana olahraga, taman yang nyaman, perpustakaan dan sebagainya
- Minimnya lembaga yang menangani permasalahan remaja
- Keengganan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan
- Undang-undang pendidikan yang tidak terencana secara sistematis dan fleksibelitas yang berguna secara positif kepada remaja.
- Instansi tertentu yang berkepentingan atau terlibat dalam penyuguhan iklan, poster, reklame yang tidak mendidik atau memberikan pengaruh buruk terhadap persepsi remaja.

B. Faktor Internal

1. Remaja dengan self control rendah
Pada masa remaja terjadi perkembangan dan pertumbuhan yang sejalan, kesemuanya membutuhkan bimbingan, pengetahuan dan perilaku yang bijaksana dalam menghadapi fase tersebut. Kontrol diri merupakan hal yang penting sebagai dalam menghadapi perubahan pesat sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan. Remaja dapat bersikap rasional dan tidak bersikap instinktif karenanya.

2. Self concept yang salah
Masa remaja sering disebut sebagai masa pencarian identitas, penerapan konsep ini mengakibatkan pembenaran perilaku tertentu sebagai cara-cara pencarian jati diri. Tepatnya adalah masa remaja merupakan masa pembinaan diri karena masa pencarian jati diri itu sudah dilewati pada masa kanak-kanak. Pada awalnya bayi akan ikut menangis bila melihat teman bayi itu menangis, konsep ini berubah setelah sang anak mengerti bahwa orang lainlah yang menangis dan bukan dirinya yang harus menangis juga. Nah, jadi dapat dimengerti bahwa masa remaja merupakan jembatan penting dalam menghadapi masa depan yang lebih baik

3. Dasar Kepribadian
Kenakalan yang terbentuk sejak awal memasuki remaja, artinya memang sejak awal kepribadian anak sudah memang terbentuk dalam keadaan yang rusak, serta penyakit-penyakit hati yang menyertainya. Hal inilah yang sangat sulit mengubah perilaku anak tersebut.

4. Malas secara emosional
Anak yang malas secara emosional hanya mau bersenang-senang saja, tidak mau bekerja keras, bersikap semata untuk menghibur diri. Dalam kesehariannya tidak sabar, keras kepala dan tidak mau peduli dengan orang lain. Remaja seperti ini lebih menyukai mengisi waktu luang dengan hura-hura dibandingkan melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat. [SM/PD]

Konstruksi Sosial Kenakalan Remaja
Artikel ini membahas perdebatan dua masalah mendasar mengenai cara pendefinisian sosial atas perilaku kenakalan remaja. Aspek utama yang dibahas adalah apakah perilaku kenakalan remaja seharusnya dipahami sebagai masalah sosial atau masalah hukum (atau dalam kasus lain, masalah kejiwaan atau moral)? Dan pada tingkat apa yang memungkinkan faktor latar belakang sosial menjadi elemen peredaan perilaku mereka?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, artikel ini berupaya mengkonstruksikan kembali definisi sosial mengenai perilaku kenakalan remaja hingga pada tingkat apa tanggungjawab hukuman harus mereka terima atau perlakuan lebih manusiawi ;lantaran faktor usia yang masih anak-anak dan latar belakang sosial yang mempengaruhinya; selayaknya mereka peroleh agar menjadi warga negara yang baik bagi masa depan pribadi dan gaya hidup non kriminal mereka.

Pendefinisian sosial dalam artikel ini dilakukan dengan membuat kategori-kategori sosial dalam memahami konstruksi sosial kenakalan remaja. Kategori yang dibuat meliputi kategori mengenai: paradigma tanggung jawab, anak-anak dan remaja, serta perlakuan atau hukuman.

Ada dua pertanyaan yang menarik dalam konteks ini. Pertama, bagaimana seharusnya mendefinisikan perilaku anak-anak lelaki ini, setidaknya sebagian karena batas usia mereka. Jika mereka dewasa, sepantasnya perilaku kenakalan dinyatakan sebagai kriminal dan dihukum dengan cara konvensional. Tetapi, pada kisah 5 anak muda ini, masih bisa diperdebatkan apakah ;meskipun faktanya mereka kriminal; mereka harus dihukum atas tindak kriminal atau bukan? Dengan kata lain, usia tampaknya menjadi faktor krusial dalam definisi sosial dari anak muda ini. Kedua, apakah faktor latar belakang sosial seperti kemiskinan, rendahnya pendidikan dan selainnya, justru dapat dipakai sebagai argumen untuk memaafkan perilaku kenakalan remaja dan khususnya sebagai cara mengurangi sanksi sosial yang dijatuhkan kepada mereka?

Intinya ada dua perdebatan argumentasi. Di satu pihak, kenakalan kriminal anak muda seharusnya dihukum sebagai konsekuensi dari kriminalitas mereka. Di lain pihak, meskipun mereka sengaja melakukan tindak kriminal, justru perilaku mereka seharusnya dimaafkan dengan jaminan perlakuan sosial ketimbang hukuman kriminal.

Kedua perdebatan ini muncul atas kasus yang dialami oleh 5 anak muda Swedia berusia 15 sampai 19 tahun di akhir tahun 1980an. Mereka secara sengaja melakukan pencurian dan penyerangan fisik. Namun, Departemen Kesejahteraan Sosial di Stockholm, Swedia justru membawa mereka dalam sebuah pelayaran kapal pesiar ke Mediteranian untuk merehabilitasi perilaku mereka dengan gaya hidup non-kriminal. Tentu saja ini bukan cara konvensional (setidaknya konteks orang Swedia) untuk menindak ;latar belakang kriminal; anak-anak muda ini.

Perjalanan pelayaran ini memicu perdebatan publik di media massa lantaran legitimasi pelayaran diotorisasi oleh pekerja sosial dan didanai dengan uang para pembayar pajak. Perdebatan ini merupakan sebuah ilustrasi publik setidaknya sebagai bagian dari proses pendefinisian sosial. Dalam kasus 5 anak muda ini, apakah mereka diancam sebagai kasus kriminal atau sosial. Dengan kata lain, perdebatan ini dipahami sebagai perdebatan mengenai definisi sosial kenakalan anak-anak muda.

Di satu pihak, anak-anak muda ini seharusnya dihukum atas tindak kriminal yang mereka lakukan sesuai dengan hukum yang ada, bukan malahan membawa mereka dalam pelayaran layaknya sebuah liburan. Pihak ini mengkritik, tidak ada faktor peredaan perilaku dengan mengajak berlayar untuk membuat jera kasus kriminal para anak muda ini. Mereka berada dalam pelayaran di ;air yang salah;, yakni terlalu ;panas; air pelayaran mereka. Pelayaran ke Mediteranian bagi orang Swedia adalah pelayaran untuk berlibur. Jika memang harus berlayar, pelayaran ke lautan Norwegia, yang harus melawan air dingin dan badai, dianggap lebih pantas sebagai hukuman.

Di lain pihak, terutama para pekerja sosial yang dikenal ;humanitarian; justru berargumen bahwa pelayaran ini memang bukan untuk menghukum mereka. Lebih dari itu, apa yang dibutuhkan adalah beberapa perlakuan untuk menolong mereka membangun cara hidup baru dan meninggalkan segala latar belakang kriminalitas mereka. Tujuan ini hanya dapat diterima dengan makna beberapa bentuk perlakuan. Perlakuan yang perlu diberikan sejak 5 anak muda ini tumbuh secara sosial dan psikologis dibawah kondisi tanpa tekanan hingga membawanya dalam perilaku kriminal.

Paradigma Tanggung Jawab

Perilaku kenakalan remaja sebagai sebab dari konstruksi sosial dapat dipahami melalui paradigma tanggung jawab. Melalui paradigma ini tingkat keseriusan tanggungjawabnya akan tergantung pada deskripsi dari konteks tindakan. Tetapi pada dasarnya, tak terbantahkan lagi seseorang akan dianggap menjadi seorang agen yang harus mengetahui tentang kesalahan dari tindakan-tindakan dan konsekuensinya. Ini merupakan cara umum untuk mendefinisikan seseorang itu bertindak kriminal atau lebih sebagai sebuah ;masalah sosial; untuk diproses dalam institusi legal.

Paradigma ini menyatakan bahwa tingkat tanggung jawab atas tindakan dapat dibebankan sepanjang serangkaian kejadian diakhiri dengan tindakan yang memang direncanakan ;dimana orang dinyatakan sebagai kriminal; Dan di sisi lain, tindakan dimana tidak seorangpun harus bertanggungjawab yaitu ketika seeorang yang melakukan tindakan lebih diakibatkan oleh suatu dorongan atau kekacauan mental, hingga menjadi kasus psikiatrik. Jika faktor-faktor yang meredakan tindakan sosial dapat diidentifikasikan dengan sedikit tanggung jawab yang mesti diemban, ini artinya lebih merupakan masalah sosial.

Pertanyaan ketika seorang anak akan didefinisikan sebagai kriminal atau sebagai masalah sosial tampak berhenti pada suatu paradigma dasar mengenai penetapan tanggung jawab untuk tindakan-tindakan dan konsekuensi-konsekuensi perbuatannya. Secara umum, seorang individu pasti terkait dengan tindakan yang ia lakukan pada suatu waktu tertentu. Namun yang penting adalah menilai dan menganalisis konteks dari tindakannya agar jelas macam tindakan apa yang telah dilakukan. Kemudian baru menilai macam tanggung jawab apa yang semestinya dibebankan. (Feinberg, 1965).

Jika kita masuk ke dalam sebuah toko panganan dan terdorong mengambil beberapa potong daging kemudian pergi keluar tanpa membayar, ini merupakan suatu jenis tindakan yang berbeda kemudian bila kita memang telah berencana mencuri. Pada kasus pertama, tindakan itu merupakan tindakan yang timbul karena dorongan hati dan tidak disengaja; sedangkan pada kasus berikutnya, kelihatan jelas direncanakan (Duff, 1990).

Tindakan pertama barang kali dapat dimaafkan karena adanya suatu dorongan yang menghampirinya. Tetapi, yang kedua barang kali sulit untuk dimaafkan, dan kita mungkin harus mencoba untuk membenarkannya/membela diri dengan mengatakan bahwa kita lapar, tidak punya uang, dan kemudian dipaksa oleh keadaan sosial untuk mencuri makanan (Austin, 1956/1990 ; Scott dan Lyman, 1968). Tindakan ini bisa saja terjadi lantaran seseorang tidak ;sadar; ketika melakukan tindakan. Orang ini akan dilihat sebagai orang yang secara temporer atau permanen diganggu atau dipengaruhi oleh penyakit mental.

Dalam kasus ini seseorang akan dinyatakan atau direkomendasikan untuk mendapatkan beberapa bentuk pengobatan, yang secara legal dinilai sebagai ;kekacauan mental;. Tanggung jawab diambil dari dirinya jika tindakan ini memang bisa dijelaskan sebagai suatu keterpaksaan yang menutupi penilaiannya atau kemungkinan munculnya suatu penilaian. Dalam sejumlah kasus seseorang didefinisikan sebagai suatu kasus psikiatrik, ketika kemampuannya untuk bertindak sebagai seorang agen yang bertanggung jawab dikurangi oleh penyakit mental.

Seseorang dapat melakukan suatu pelanggaran sosial, moral atau legal, tetapi masih menjadi seorang agen yang mampu, bahkan ketika tindakannya dapat dimaafkan dengan referensi pada keadaan sosialnya (Floud, 1975). Contoh dari keadaan sosial yang dapat digunakan untuk memaafkan tindakan-tindakan kriminal termasuk ketika seseorang tumbuh di bawah keadaan yang dapat dikarakterisasi seperti kehilangan secara sosial dan psikologis hingga membuat seseorang secara sosial kehilangan kemampuan sebagai warga negara berupa pengetahuan dan tinjauan ke masa depan yang menghargai aturan dan konsekuensi sosial dan moral. Dalam kasus ini, dengan mengarahkan pada keadaan sosial, suatu alasan sosial dapat dipakai untuk memaafkan suatu tindakan sosial yang bertujuan untuk mengurangi beban tanggung jawab baik dari orang tersebut dan ataupun tindakannya.

Anak-anak dan Remaja

Paradigma Tanggung Jawab; masih menjadi masalah ketika tindakan-tindakan yang dilakukan kaum remaja mulai didefinisikan. Penilaian-penilaian kita terhadap tindakan anak-anak maupun remaja tampaknya tergantung pada usia seorang anak. Di Swedia, contohnya, orang tua dari seseorang yang berusia belum genap 15 tahun secara formal bertanggung jawab terhadap tindakan anak-anak mereka. Manakala remaja mulai berusia 18 tahun, mereka diharapkan bertanggung jawab pada beberapa aspek tertentu, misal hak voting/pemilih, mendapatkan sanksi kriminal, namun belum boleh membeli minuman beralkohol.

Periode usia ini merupakan perubahan menuju suatu tingkat tertentu dan secara menyeluruh ditentukan oleh keadaan sejarah budaya masing-masing. Hal ini menjadi melembaga dalam masyarakat kita dan merupakan hal penting dalam penilaian kita terhadap tindakan-tindakan/perilaku serta apa yang kita persepsikan sebagai hal yang normal atau tidak normal bagi kelompok usia yang berlainan. Pada budaya kita, anak-anak lazimnya dianggapkan hanya setengah bertanggung jawab atas tindakan mereka, kebalikan dengan orang dewasa yang bertanggung jawab penuh dengan beberapa perkecualian seperti yang sudah didiskusikan diatas (Harre, 1983).

Umumnya, tindakan-tindakan anak terlihat spontan/impulsif sebab anak-anak belum mampu bertindak dengan disengaja dan belum mampu menilai tindakannya sesuai dengan norma budaya atau tidak (Frankfurt, 1988). Kita cenderung berpendapat bahwa anak-anak belum mampu mengevaluasi tindakannya sesuai dengan standar moral umum. Hal ini diasumsikan bahwa kemampuan itu berkembang selama tahun-tahun usia remaja seorang anak. Sering kali hal ini diperdebatkan bahwa anak-anak kurang memiliki kemampuan kognitif untuk mengevaluasi perilaku mereka apakah secara moral sama dengan suatu cara yang diasumsikan kebanyakan orang sebagai hal normal serta suatu tanda kedewasaan dalam masyarakat kita (Kohlberg, 1984).

Anak-anak muda, dari umur 15 sampai 18, berada dalam masa transisi antara menjadi seorang anak yang terbebas dari tanggung jawab dengan masa dewasa dimana seseorang bertanggung jawab terhadap segala tindakannya (Matza, 1964). Implikasinya adalah bahwa kita tidak yakin apakah bisa berpendapat jika anak-anak muda bertanggung jawab ketika melakukan tindakan kriminal ataukah mereka musti memikul tanggung jawab penuh terhadap tindakannya. Khusus untuk hal ini kita bersikap ambivalen/mendua mengenai apakah anak-anak muda bertindak penuh dengan kesadaran moral dan mampu menanggung konsekuensi perilakunya terhadap orang lain sertsa cara mereka dinilai oleh orang-orang dalam masyarakat.

Permasalahan ini menentukan apakah kaum remaja dianggap sebagai subjek bertanggung jawab atau bukan, kemungkinannya merupakan salah satu alasan untuk munculnya perdebatan terhadap pelayaran lima anak laki-laki tersebut. Kritik-kritik terhadap pelayaran itu mengklaim bahwa lima anak itu sangat sadar baik atas perilaku kriminalnya maupun resiko perbuatan mereka. Mengenai hal itu mereka harus ditetapkan sebagai subyek yang telah mampu berbohong terlepas dari berapa umurnya (15-19 tahun)

Sedangkan kelompok yang mendukung perjalanan pelayaran ini sebagai bentuk perlakuan ketimbang hukuman ingin menegaskan bahwa anak-anak itu, bukanlah seorang kriminal, namun sebagai ;masalah sosial; sekaligus melegitimasikan pelayaran itu. Mereka berpendapat bahwa kelima anak tersebut telah dibesarkan dalam ketimpangan sosial dan psikologis. Implikasi besarnya adalah berkaitan dengan perkembangan mereka yang kurang matang berfungsi sebagai warganegara normal sebab mereka diasumsikan menolak pengalaman-pengalaman yang dianggap sebagai hal penting untuk belajar bagaimana berperilaku sesuai standar-standar konvensional/umum.

Contohnya, terjadi perdebatan bahwa tak seorang pun dari kelima anak itu memiliki figur dekat seorang ayah selama mereka tumbuh, karena dibesarkan oleh seorang ibu saja. Pada asumsi yang menyebutkan bahwa seorang ayah mewakili dan mentransfer tatanan moral kepada anaknya, maka para pendukung pelayaran ini percaya bahwa para anak laki-laki itu belum belajar mengenai wawasan dan standar moral yang penting. Ketika anak-anak itu melakukan kejahatan mereka berbuat lebih karena memiliki sedikit wawasan moral yang mendorong adanya tindak kejahatan itu . Kurangnya moral itu, menurut klaimnya, mungkin kemudian dianggap sebagai suatu alasan memaafkan tindakan kriminal mereka.

Kehilangan moral, sosial dan psikis yang mungkin dalam tumbuh kembang anak-anak itu mungkin menjelaskan dan membantu kita memahami mengapa hanya lima anak ini memulai karir kriminalnya. Dan bilamana kita memahami kemudian kita mampu melukiskan tindakan kriminal mereka dalam suatu gambaran yang lebih rumit : dengan kata lain, kita bisa menggambarkan jenis tindakan yang mereka lakukan dengan lebih memadai. Namun, hal ini tidak berarti bahwa keadaan sosial yang buruk membikin ana-anak laki-laki itu kurang bertanggung jawab terhadap perilakunya secara moral. Oleh karenanya, usaha-usaha mendiskualifikasikan kelima anak itu sebagai aktor-aktor yang kompeten/telah matang tampaknya masih diragukan.

Perlakuan atau Hukuman

Perdebatan mengenai perjalanan pelayaran di atas lebih jelas lagi manakala sampai pada pemahaman untuk memilih konsep perlakuan (treatment) atau hukuman (punishment). Dalam perdebatan ini, ada yang berargumen anak-anak itu seharusnya didefinisikan sebagai agen yang bertanggungjawab atas hukuman yang diterimanya, dan ada yang mengartikan itu sebagai alasan yang dapat diterima baik apakah secara psikologis, pendidikan, atau sosial.

Hukuman biasanya didasarkan atas suatu tindakan yang telah terjadi dan terkait dengan pengaruh atas tindakannya. Tujuan hukuman diberikan agar seseorang bertanggungjawab atas tindakannya. Jika hukuman telah diberikan, mungkin dapat memutuskan apakah orang tersebut bersalah atas tindakan kriminalnya ataukah tidak. Sedangkan konsep ;perlakuan; bisa jadi berlawanan dengan ;hukuman;. Perlakuan pada dasarnya tidak terkait dengan apa yang telah dilakukan seseorang, tetapi apa yang mungkin seseorang lakukan di masa mendatang. Fakta apa yang telah dilakukan seseorang dianggap penting hanya sebagai sebuah indikasi kemungkinan tindakan di masa mendatang sebagai pengembangan sosial seorang warga yang masih muda. Perlakuan ditujukan sebagai pengembangan di masa mendatang yang akan menghasilkan rehabilitasi sosial dan sebuah gaya hidup non-kriminal. Jadi dengan kata lain, treatment atau cara memperlakukan seseorang lebih melihat ke masa depan, sedangkan hukuman lebih melihat ke masa lalu.

Beragam komentar menanggapi pelayaran lima anak ini yang ditangani oleh departemen kesejahteraan sosial Stockholm. Ada yang menganggap seharusnya mereka dihukum atas kriminalitas yang telah dilakukannya. Ada yang merupakan pendapat sebagian besar warga kota, pemberian kesempatan berlayar kepada lima pelaku kriminal tersebut diasosiasikan sebagai hanya untuk bersenang-senang dan liburan. Sedangkan beberapa komentar berargumen, seharusnya anak-anak itu dikirim berlayar di musim dingin yang penuh badai agar merasakan pelayaran itu sebagai hukumannya. Beberapa pihak yang mendukung misi perjalanan itu berpendapat, apapun tidaklah mudah untuk menginterpretasikan segala kemungkinan kalau hanya melihat sebagian kecil dari perjalanan itu dan kesimpulan mereka bahwa anak-anak itu diharapkan dapat belajar selama perjalanan.

Jadi dalam konteks ini, pilihannya antara punishment dan treatment. Pihak yang setuju dengan hukuman memandang anak-anak itu sebagai pelaku yang harus bertanggungjawab dan dapat diberi hukuman. Di lain pihak, para penganut pendekatan humanis bersikukuh yang setuju dengan perjalanan mendefinisikan anak-anak itu sebagai bagian dari subyek yang belum matang, yang dirusak oleh lingkungan sosialnya, dan yang tidak mampu berperilaku sebagai warga kota yang bertanggungjawab., maka tidaklah seharusnya mereka menanggung sebuah hukuman. Pendek kata, para humanis membela anak-anak ini sebagai warga dalam posisi sosial yang marjinal. Maka, tujuan perlakuan terhadap mereka hanya dapat berhasil melalui redefinisi atas warga yang belum matang. Karenanya tidak seketika diberi hukuman, tetapi seharusnya diperlakukan untuk peredaan perilaku mereka untuk masa depan dengan gaya hidup non-kriminal.

KESIMPULAN
Perdebatan di Swedia mengkonfirmasikan gagasan yang disampaikan oleh Emile Durkheim (1893/1989) seratus tahun yang lalu: kriminalitas bukan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari suatu tindakan atau seseorang tetapi lebih kepada suatu fenomena yang didifinisikan oleh suatu reaksi sosial (cf.Becker 1963). Lima anak Swedia yang dinyatakan sebagai kriminal dan sebagai masalah sosial berawal ketika mereka ditahan dan ditanya oleh polisi. Bagi polisi dan jaksa, anak-anak tersebut menghadapi masalah hukum dan dinyatakan sebagai kriminal. Ketika anak-anak tersebut dikembalikan kepada masyarakat, otoritas sosial menyatakan lagi bahwa anak-anak itu sebagai suatu masalah sosial yang membutuhkan perlakuan (treatment) yang baik, bukan langsung dihukum.

Secara mendasar, proses ini dapat ditandai sebagai proses pengkategorisasian: anak-anak dan aksi-aksi mereka harus dikategorikan dalam suatu cara tertentu agar otoritas dapat memutuskan keabsahan ukuran-ukuran mereka. Penggunaan kategori tergantung pada dua keadaan. Pertama, seluruh institusi tidak memiliki pengkategorian sosial yang sama. Kedua, mereka menggunakan pengkategorian itu dalam berbagai cara. Suatu kategori seperti ;kriminal;, mendifinisikan para pelaku dan aksi-aksinya dengan kerangka hukum, yang utamanya dipakai oleh institusi hukum, seperti polisi dan departemen kehakiman. Satu kategori seperti kenakalan remaja didefinisikan sebagai seseorang dengan perbuatan-perbuatannya yang dikaitkan dengan norma-norma moral dan sosial, dan secara tradisional digunakan oleh agen-agen sosial dan kelompok-kelompok profesional seperti para pekerja sosial dan psikolog. Lembaga-lembaga psikiater menggunakan kategori-kategori sosial yang menempatkan pelaku sebagai sesuatu hal yang menyimpang dari norma-norma sosial.

Walaupun suatu lembaga memiliki kategori-kategori sosial, namun penggunaan dari kategori-kategori ini tidak selalu tanpa masalah. Kategorisasi terhadap 5 anak menjelaskan tentang seseorang dan aksi-aksi mereka, aksi-aksi tertentu digambarkan, sementara aksi yang lain dihilangkan, fakta-fakta kontekstual tertentu ditekankan, sedangkan yang lain tidak, dan beberapa tipe dari faktor-faktor disorot sementara lainnya tidak disebutkan. Dalam semangat ini kategorisasi jangan dilihat seperti suatu uraian atau laporan objektif, tetapi sebagai bagian dari suatu wacana kelembagaan yang berkelanjutan, guna bernegosiasi dan mengusulkan kategori-kategori sosial.

Proses ini secara normal tersembunyi atau paling tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, namun bisa dilihat melalui proses birokrasi dan diskusi antara aparat pemerintahan, pekerja sosial, polisi dan sebagainya. Debat publik di Swedia membawa proses ini kedalam pusat perhatian dan memungkinkan kita untuk melihat paling tidak bagian-bagian dari proses tersebut dimana 5 anak dikonstruksikan sebagai masalah sosial dan kriminal. Lebih spesifik lagi, pengelompokkan institusional itu menjadi bagian dari wacana yang lebih luas yang meliputi mass media,televisi, radio dan suratkabar.

Wacana ini menyangkut keyakinan dasar tertentu yang berkaitan dengan tanggung jawab dan makna kewarganegaraan serta tingkat usia dan faktor-faktor kontekstual sosial bisa diperdebatkan disini. Para pendukung apa yang disebutkan penulis sebagai suatu posisi humanitarian menyatakan bahwa kelima anak lelaki tidak bisa dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya karena faktor usia dan latar belakang sosial mereka serta mengajukan alternatif atas dakwaan kriminal. Para pendukung yang berada pada posisi lebih konservatif menyatakan bahwa anak-anak ini seharusnya dihukum.

0 komentar:

Posting Komentar